Gelombang Panas Asia Tenggara 2025: Ancaman Tersembunyi bagi Kesehatan Kita

Awal 2024 Asia Tenggara dilanda gelombang panas ekstrem. Sekolah ditutup, warga diperingatkan bahaya heatstroke, dan suhu udara mencetak rekor. Misalnya, pada April 2024 Manila menyentuh 47°C dan Bangkok 40,1°C (dengan indeks panas mencapai 52°C). Thailand melaporkan 30 orang meninggal karena serangan panas tahun itu, dan Myanmar mencatat ratusan kematian terkait suhu ekstrem. Fenomena El Niño memperparah keadaan ini.

Tak kalah penting, kelembapan tinggi di wilayah tropis membuat panas terasa lebih menekan: keringat sulit menguap sehingga tubuh susah menurunkan suhu. WHO mencatat sekitar 489.000 kematian akibat suhu ekstrem per tahun (2000–2019), 45% di antaranya terjadi di Asia. Panas ekstrem memperburuk penyakit jantung, pernapasan, ginjal, dan meningkatkan kematian usia lanjut. WHO juga mengingatkan bahwa meski status darurat global dicabut, ancaman varian baru tetap ada – artinya kewaspadaan harus terus dijaga.

Di Indonesia, BMKG memperingatkan beberapa daerah sudah mendekati suhu 38–39°C di musim kemarau 2025. Wilayah selatan ekuator seperti Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan rentan panas ekstrem karena tanah menyerap suhu lebih tinggi. Kelompok rentan (lansia, anak-anak, pekerja luar ruangan, penderita penyakit kronis) perlu ekstra hati-hati.

Gelombang panas adalah “pembunuh senyap” yang kerap tidak dilaporkan. Bahayanya tak hanya terasa secara fisik, tapi juga bisa memicu stres kronis dan depresi pada beberapa orang. Oleh karena itu, meski matahari terik atau kelembapan tinggi, pastikan kita rutin minum, beristirahat cukup, dan pantau informasi cuaca terbaru – bukan hanya demi kenyamanan, tapi juga kesehatan jiwa kita.

Sumber:

© Copyright 2023. PT. Populer Sarana Medika

Scroll to Top