Berita Kesehatan

Setelah Perjanjian Pandemi WHO, Implikasi untuk Sistem Kesehatan Indonesia

Pada Mei 2025, WHO berhasil mengesahkan Perjanjian Pandemi di Sidang WHA ke-78. Instrumen global ini dibuat untuk memperkuat kerjasama internasional pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. Inti kesepakatannya mencakup akses vaksin, obat, dan diagnostik yang adil serta penguatan kapasitas penelitian, produksi, dan tenaga kesehatan. Indonesia menyambut baik hasil ini sebagai warisan presidensi G20 2022, di mana Indonesia ikut menginisiasi Dana Pandemi dan mendorong kesetaraan akses obat/vaksin. Kemenkes RI menyatakan Perjanjian Pandemi akan melengkapi Amandemen IHR 2024 untuk memperkuat arsitektur global kesehatan. Dokumen 35 pasal itu memasukkan komitmen nasional seperti kedaulatan, pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi, peningkatan SDM kesehatan, R&D, transfer teknologi, dan diversifikasi produksi alat kesehatan. Khususnya, sistem “Pathogen Access and Benefit Sharing” (PABS) yang digaungkan Indonesia akan memastikan keadilan dan transparansi akses sampel virus dan teknologi terkait. Di tataran nasional, perjanjian ini mendorong Indonesia memperkuat sistem kesehatan kita. Delegasi RI menegaskan pentingnya equity dan akses setara, serta menyatakan perjanjian ini bisa memperkuat sistem kesehatan di tingkat nasional melalui peningkatan kapasitas mitigasi dan respons pandemi. Perlu diingat, perjanjian tidak mengurangi kedaulatan negara: WHO tak diberi wewenang memaksa kebijakan domestik apapun. Artinya, Indonesia bebas menetapkan kebijakan dalam negeri, tapi diimbangi kewajiban kolaborasi global. Implikasinya, pemerintah dan Kemenkes mungkin akan memperbarui regulasi kesehatan darurat, memperkuat jaringan laboratorium, surveilans, serta pelatihan tenaga medis sesuai standar baru. Selain itu, peluang pendanaan (misal Dana Pandemi) dan transfer teknologi dapat dimanfaatkan untuk mempercepat riset vaksin atau obat di dalam negeri. Singkatnya, semangat perjanjian global ini adalah agar Indonesia lebih siap dan adil dalam menghadapi pandemi mendatang – dari hulu hingga hilir – tanpa melupakan kepentingan nasional. Sumber: Kemenkes “Pandemic Agreement Disahkan di WHA 78: Indonesia Tegaskan Komitmen Global untuk Ketahanan Kesehatan” Antara News “Kemenlu gaungkan inklusivitas dalam negosiasi perjanjian pandemi”

Setelah Perjanjian Pandemi WHO, Implikasi untuk Sistem Kesehatan Indonesia Read More »

Covid-19 Endemi, Bukan Darurat: Menelaah Peralihan Status Global

Sejak awal pandemi berakhirnya status darurat global Covid-19 menjadi sorotan. Pada 5 Mei 2023, WHO resmi mengakhiri fase Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC) untuk Covid-19. Artinya, tren penularan dan kematian menurun, tekanan pada fasilitas kesehatan mereda, serta kekebalan komunitas meningkat. Tedros Adhanom menyatakan, “dengan harapan besar, saya mengumumkan Covid-19 berakhir sebagai darurat kesehatan global. Namun itu tidak berarti Covid-19 berakhir sebagai ancaman kesehatan global”. WHO menekankan kewaspadaan tetap perlu: virus masih beredar, varian baru bisa muncul, dan dampak pasca-Covid bisa berkepanjangan. Indonesia mengikuti langkah ini. Presiden Joko Widodo resmi mencabut status pandemi dan menyatakan Covid-19 sebagai endemi per 21 Juni 2023. KPCPEN dibubarkan dan tugas penanggulangan Covid dialihkan ke Kemenkes sesuai ketentuan hukum. Pemerintah menerbitkan Perpres 48/2023, yang mengatur kelanjutan vaksinasi hingga akhir 2023 dan mengalihkan klaim perawatan Covid ke BPJS setelah Agustus 2023. Panduan Kemenkes (Permenkes 23/2023) kini memposisikan penanganan Covid seperti penyakit infeksi lain: fokus pada surveilans rutin, perawatan medis, dan vaksinasi terarah, terutama untuk kelompok rentan. Secara kasat mata, kehidupan kini hampir kembali normal. Protokol ketat dicabut, perjalanan bebas tanpa PCR, bahkan vaksinasi Covid kini masuk program imunisasi rutin untuk lansia dan kelompok risiko tinggi. Meski begitu, transisi ini bukan berarti kita boleh abai. Laporan WHO dan ahli kesehatan menegaskan pentingnya mempertahankan kewaspadaan: testing dan vaksinasi harus terus didorong, karena virus masih ada di masyarakat. Kesimpulannya, status endemi menandakan kita telah beradaptasi dan hidup berdampingan dengan Covid-19, namun bukan berarti ancaman lenyap begitu saja. Sumber: Sehat negeriku “Inilah Aturan Penanggulangan Covid 19 di Masa Endemi” Kompas “WHO Putuskan Fase Darurat Penanganan Covid-19 Berakhir”

Covid-19 Endemi, Bukan Darurat: Menelaah Peralihan Status Global Read More »

Kelembapan, Suhu, dan Kesehatan Mental: Pelajaran dari Studi Terbaru India

Ternyata cuaca panas tak cuma memukul fisik, tapi juga jiwa. Sebuah penelitian terbaru dari India menyoroti efek suhu ekstrem dan kelembapan terhadap kesehatan mental. Peneliti menggabungkan data survei WHO-SAGE dengan pengukuran wet-bulb temperature (kombinasi suhu dan kelembapan) di berbagai daerah. Hasilnya mengejutkan: gelombang panas parah terbukti meningkatkan risiko depresi, meski pengaruhnya pada kecemasan tidak signifikan. Dengan kata lain, semakin tinggi suhu lembap saat gelombang panas, semakin besar kemungkinan orang mengalami gejala depresi. Hal ini bermakna. Indonesia dan Asia Tengah (mirip iklim India) menghadapi kelembapan tinggi selama panas terik. Sebagaimana diungkap Kompas, kelembapan tinggi membuat keringat sulit menguap, sehingga tubuh kesulitan mendingin. Kondisi ini tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga bisa membebani emosi. Studi India tersebut menunjukkan program kesehatan jiwa komunitas (District Mental Health Program) bisa melindungi orang dari dampak stres panas. WHO juga mengingatkan pentingnya mengantisipasi beban mental akibat krisis iklim. Perubahan iklim memperburuk banyak faktor risiko sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan jiwa di Asia Tenggara. Pelajaran dari penelitian India dan arahan WHO: saat menghadapi musim panas ekstrem, kita harus peduli tidak hanya dengan pencegahan heatstroke, tapi juga dukungan psikososial. Misalnya, daerah rawan panas bisa meningkatkan layanan konseling, menerapkan jam istirahat siang, serta mengajak masyarakat sadar menjaga kesehatan jiwa (cukup tidur, beraktivitas di tempat sejuk, tetap terhubung sosial). Dengan memerhatikan suhu dan kelembapan, kita bisa lebih baik memproteksi bukan hanya tubuh, tetapi juga kesehatan mental dalam menghadapi iklim yang makin panas. Sumber: arXiv “Beyond the heat: The mental health toll of temperature and humidity in India” Kompas “Cuaca Panas Ekstrem Ancam Kesehatan dan Keselamatan, Bagaimana Tubuh Beradaptasi?”

Kelembapan, Suhu, dan Kesehatan Mental: Pelajaran dari Studi Terbaru India Read More »

Gelombang Panas Asia Tenggara 2025: Ancaman Tersembunyi bagi Kesehatan Kita

Awal 2024 Asia Tenggara dilanda gelombang panas ekstrem. Sekolah ditutup, warga diperingatkan bahaya heatstroke, dan suhu udara mencetak rekor. Misalnya, pada April 2024 Manila menyentuh 47°C dan Bangkok 40,1°C (dengan indeks panas mencapai 52°C). Thailand melaporkan 30 orang meninggal karena serangan panas tahun itu, dan Myanmar mencatat ratusan kematian terkait suhu ekstrem. Fenomena El Niño memperparah keadaan ini. Tak kalah penting, kelembapan tinggi di wilayah tropis membuat panas terasa lebih menekan: keringat sulit menguap sehingga tubuh susah menurunkan suhu. WHO mencatat sekitar 489.000 kematian akibat suhu ekstrem per tahun (2000–2019), 45% di antaranya terjadi di Asia. Panas ekstrem memperburuk penyakit jantung, pernapasan, ginjal, dan meningkatkan kematian usia lanjut. WHO juga mengingatkan bahwa meski status darurat global dicabut, ancaman varian baru tetap ada – artinya kewaspadaan harus terus dijaga. Di Indonesia, BMKG memperingatkan beberapa daerah sudah mendekati suhu 38–39°C di musim kemarau 2025. Wilayah selatan ekuator seperti Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan rentan panas ekstrem karena tanah menyerap suhu lebih tinggi. Kelompok rentan (lansia, anak-anak, pekerja luar ruangan, penderita penyakit kronis) perlu ekstra hati-hati. Gelombang panas adalah “pembunuh senyap” yang kerap tidak dilaporkan. Bahayanya tak hanya terasa secara fisik, tapi juga bisa memicu stres kronis dan depresi pada beberapa orang. Oleh karena itu, meski matahari terik atau kelembapan tinggi, pastikan kita rutin minum, beristirahat cukup, dan pantau informasi cuaca terbaru – bukan hanya demi kenyamanan, tapi juga kesehatan jiwa kita. Sumber: Kompas “Cuaca Panas Ekstrem Melanda Asia Tenggara“ Detik Health “Cuaca RI Mulai ‘Menyengat’ Lagi, BMKG Ungkap Wilayah yang Hadapi Panas Ekstrem”

Gelombang Panas Asia Tenggara 2025: Ancaman Tersembunyi bagi Kesehatan Kita Read More »

© Copyright 2023. PT. Populer Sarana Medika

Scroll to Top